Komoditas Lesu, Ekonomi Terganggu

Unssaf
0

Komoditas tertekan: Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Volatilitas harga komoditas global kembali jadi sorotan utama di tahun 2025. Banyak negara, termasuk Indonesia, bergantung pada ekspor komoditas sebagai penopang ekonomi nasional. Komoditas seperti batu bara, minyak mentah, gas alam, dan minyak sawit (CPO) menunjukkan fluktuasi harga yang cukup tajam dalam beberapa bulan terakhir. Penurunan permintaan dari negara-negara besar seperti China dan Eropa, serta peningkatan pasokan global, menjadi penyebab utama tren penurunan harga. Bahkan, Bank Dunia memproyeksikan harga komoditas global akan turun hampir 10% selama 2024–2025, dan bisa menurun lebih jauh jika ketegangan geopolitik serta disrupsi rantai pasok terus berlanjut.







coal, crude oil, natural gas, palm oil price chart

source: tradingeconomics.com

Bagi Indonesia, volatilitas harga komoditas global turut mempengaruhi performa ekspor dan neraca perdagangan. Pada Januari 2025, total ekspor tercatat sebesar 21.450 juta usd, mengalami kenaikan 4,68% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meski secara nilai terjadi peningkatan, ekspor migas justru turun dari senilai 1.397,6 juta usd menjadi 1.056,9 juta usd secara tahunan, mencerminkan tekanan harga pada komoditas energi seperti batu bara dan minyak mentah. Penurunan ekspor migas dan harga komoditas secara global tetap menjadi tantangan tersendiri bagi kinerja fiskal, terutama dalam menjaga kestabilan penerimaan negara dan mempertahankan surplus neraca perdagangan yang mencapai 3.452 juta usd miliar pada Januari 2025.

source: bps.go.id

Kondisi ini juga berdampak ke pasar modal Indonesia. Emiten-emiten besar di sektor energi dan pertambangan mengalami koreksi laba karena harga jual komoditas lebih rendah dari sebelumnya. Saham-saham seperti ADRO, PTBA, dan INCO menjadi kurang atraktif bagi investor, sehingga tekanan jual meningkat. Selain itu, pelemahan rupiah turut menambah beban biaya bagi perusahaan yang banyak melakukan impor bahan penolong. Akibatnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi lebih sensitif terhadap berita global, terutama yang menyangkut kebijakan The Fed, ketegangan geopolitik, dan harga komoditas dunia










source: stockbit.com

Namun di balik tantangan, selalu ada peluang. Relokasi industri dari China ke Asia Tenggara akibat perang dagang AS–China membuka ruang baru bagi Indonesia untuk menarik investasi sektor manufaktur. Pemerintah juga terus mendorong program hilirisasi, agar Indonesia tak hanya mengekspor bahan mentah, tetapi juga produk bernilai tambah tinggi. Diversifikasi pasar ekspor pun dilakukan ke kawasan non-tradisional seperti Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika, guna mengurangi ketergantungan pada China dan negara Barat. Upaya ini penting agar Indonesia lebih resilien menghadapi gejolak harga dan permintaan global.


           Sebagai investor dan pelaku pasar, kita perlu menyikapi situasi ini dengan bijak. Memahami bahwa sektor komoditas sangat siklikal dan mudah terpengaruh oleh dinamika global, strategi investasi yang adaptif sangat dibutuhkan. Investor dapat memilih sektor-sektor defensif, seperti konsumer primer dan telekomunikasi, atau perusahaan yang memiliki fundamental kuat dan rasio utang rendah. Selain itu, pemahaman terhadap hubungan antara harga komoditas, nilai tukar, dan sentimen pasar akan sangat membantu dalam mengambil keputusan investasi yang lebih terukur. Di tengah ketidakpastian, kemampuan membaca arah pasar dan disiplin strategi justru menjadi kunci utama meraih peluang.

Post a Comment

0Comments

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Now
Ok, Go it!